‘Happy
Birthday. Get older getter. Wish you all the best!’
“ngomong, nggak ya?” batinku.
Berkali-kali hampir aku ucapkan. Sebanyak itu pula aku urungkan. Aku takut,
akan sebuah ... PENOLAKAN!
‘Selamat ulang
tahun. Semoga panjang umur. Sukses selalu.’
Tidak, aku tak
punya cukup keberanian untuk mengutarakan ini. Tapi... “Kenapa jadi ribet gini sih? Tuhan!”
‘selamat ulang
tahun J’
Well ... Akhirnya
tombol ‘post’ kuklik juga. Ucapan itu
kini sudah terpampang didinding facebooknya.
***
Tidak ada yang spesial hari ini, hari
pertama kembali kesekolah lagi. Hanya kesibukan para penghuni baru sekolah yang
menghadapi masa orientasi dan teman-temanku yang asyik bertukar cenderamata.
Yah, liburan kemarin sepertinya banyak yang menghabiskan waktu diluar kota. Refreshing, dari seabrek kesibukan
dimasa aktif sekolah kemarin. Yang paling utama tentu saja, menikmati liburan
se-enjoy mungkin karena setelah ini hari-hari akan terasa
sangat berat. Ini adalah tahun terakhir kami di SMA. Huh, memikirkannya aja,
aku sudah pusing duluan! But, wait ... sepertinya ada yang berbeda hari ini.
Aku seksama memperhatikan mereka yang ada diseberang sana, kelasku. Heboh
sekali. Penasaran melanda. Sayangnya, aku tidak bisa segera kesana. Tugasku
mengawasi adik-adik kelas baruku ini belum selesai.
“Zahra!”
Aku menoleh pada sumber suara. Nabila,
ternyata.
“lo kenapa? Sakit? Gue liatin dari tadi
bengong mulu.”
“Nggak. Gue nggak kenapa-kenapa kok. Cuma
lagi mikir aja.”
“haayoo, mikir apa? Mikirin cowok ya?
anak baru itu ya, ra?”
“apaan sih, lo.” Jawabku sekenanya.
Nabila ngomong, anak baru? “Emang ada anak baru?”
“Adalah. Nih, bocah-bocah didepan lo ini
apa?”
Aku melotot padanya. “Kalo mereka gue
juga tau. Orang dari tadi sama gue mulu. Kirain anak baru selain mereka.”
“What, Zahra? Lo nggak tau? Anak-anak aja
udah pada rusuh gitu. Ada tau, sekelas ama kita. Cowok. Ganteng sih.” Nabila
cengengesan.
***
Sudah satu
minggu sejak aku mengirim ucapan itu. Mungkin ini saatnya.
Bismillahhirrahmaanirrahiim...
5 friend
requests. 2 messages. 8 notifications.
Deg! Ada
namanya dibagian pemberitahuan itu. Sesuatu darinya telah ada didindingku. Aku
terus bicara pada hati ini kalau itu hanya sekedar ucapan. Hanya!
***
Orientasi tahun ini cukup melelahkan. Ada
banyak agenda yang telah kami jadwalkan. Syukurlah, semua berjalan lancar meski
sebagai konsekuensinya sampai sore begini aku dan yang lain masih ada sekolah.
Kegiatan baru selesai beberapa saat lalu. It
is time to go home!
Bug! Aku meringis. Sebuah bola basket
sukses mendarat mulus dikepalaku. Sakit sekali. Aku melotot kesal pada
cowok-cowok ditengah lapangan. Ingin berang, tapi ku pikir tidak ada gunanya.
Ringkasnya, Mungkin mereka tidak sengaja. Lebih baik segera pulang. Toh, rasa
sakit ini tidak hilang dengan amukanku dan sepotong kata maaf dari mereka.
“Tunggu!” sebuah suara menghentikan
langkahku. Aku menoleh kebelakang. Siapa? Aku merasa tidak mengenalnya. Sempat
mengira dia anak sekolah lain. Setelah memperhatikan seragamnya, segera ku
vonis, aku salah.
“Gue... Gue...” dia mengacak-acak rambut
cepaknya, “Gue minta maaf.”
Aku masih mematung. Tidak mengerti.
“Mungkin lo bingung. Lo nggak kenal gue,
ya kan? Gue anak baru. Sekali lagi, gue minta maaf!” tegasnya.
“Well.. lo anak baru makanya gue nggak
kenal lo, gue ngerti. Tapi, maaf... maaf untuk?” tanyaku.
“Itu... tadi kepala lo... eh... gimana
ya? Hmmm... Bola yang tadi kena kepala gara-gara... gue.”
Aku tercekat. Jadi, dia tersangkanya.
Kesalku sudah termakan lelah sebenarnya. “Oh, ya. Oke, ga papa.”
“Lo baik-baik ajakan?”
“I’m okay. Don’t worry.”
Dia bergumam. Aku mengerutkan dahi. “Gue
dimaafin, kan?” tanyanya lagi.
Aku melotot padanya. Obrolan padanya
sudah sangat membuang waktuku. Seharusnya, sekarang aku sudah hampir setengah
perjalanan ke rumah. Aku sudah sangat lelah. Kemarahan yang tadi coba aku
pendam kini hampir menemui puncaknya. Lebih baik aku pergi.
***
‘Thanks, Zahra J I am surprised you
still remeber.’
Entah apa yang
ada di kepala ini saat aku membacanya. Bukankah malam itu Dia... Dia... Ahh
sudahlah! Apa aku yang terlalu memikirkan?
***
“Zahra, gue tau gue salah. Makanya gue
minta maaf.” Sudah hampir seminggu dia selalu menguntitku dan membahas masalah
yang sama.
Dia menarik tanganku, “Zahra, please. Lo
mau kan maafin gue?”
“Dimaafkan!” dia mengelus dada, “Lepasin
tangan gue,” Dia melepas cengkramannya, “Dan berhenti jadi penguntit. Sekarang,
sebaiknya lo pergi.”
Dia tidak beranjak. Dia malah melongo
memandangku tidak jelas entah kenapa. Tidak ada gunanya menunggu. Aku saja yang
pergi.
“Eitssss, ra, tunggu, ra. Gue belum
kelar.”
“apalagi sih? Lo kan udah gue maafin?”
jawabku tanpa berbalik.
Dia menghampiriku, “Sebagai tebusan atas
kesalahan gue, gue mau traktir lo makan. Mau kan?”
“Gue gak ada waktu.”
Wajahnya berubah, “Yaaah, please, ra,
massa lo biarin gue ngerasa bersalah mulu, Ra? Ayolahh... kalau lo nggak
mau...”
“Kalau gue nggak mau, kenapa?”
“Gue bakal buntutin lo terus.”
“Nggak peduli!” aku ngeloyor pergi.
Sial, ternyata dia tidak main-main. Aku
sudah jengah atas ulah kekanak-kanakan cowok baru ini. Setiap ada kesempatan
dia selalu menempel padaku dan mengulang ajakan yang sama. Parahnya, dia
sekelas denganku. Layaknya dugaanku, dia adalah anak badung. Baru berapa minggu
sekolah saja dia sudah berkomplot dengan anak cowok super jahil disekolahku.
Mereka memang bukan berandalan. Tapi, kadangkala ketika sampai batas maksimum
keisengannya, mereka sangat keterlaluan. Hampir saja, dia berhasil membujuk
Nabila untuk pindah tempat duduk. Untung saja, Nabila lebih takut pada
ancamanku. Apa sih yang dia mau? Yang penting kan sudah diaafkan. Aku menyerah,
setelah lebih dua minggu dia seakan jadi seperti pengawalku dan sukses tersebar
gosip panas bahwa dia adalah ‘pacar’ku. Tidak! Aku menuruti keinginannya demi
reputasi dan nama baikku, bukan karena aku kalah darinya.
***
Jari-jari
ini ternyata tak kuasa menahan untuk tidak merespon. Akhirnya sekali lagi...
‘So do I.
Still dont believe this is you :D’
Dari apa
yang dia tulis kemarin, setidaknya aku tahu, aku tidak ditolak. Aku tak
berharap dia akan membalas lagi. Aku hanya mau perpesanan dinding ini tidak
berakhir di aku. Sudah sejak lama aku berniat
mengucapkan selamat dihari jadinya. Tapi, aku belum menemukan caranya. Hingga
suatu hari aku menemukan namanya dalam deretan nama teman di grup facebook sekolahku. Yang lebih
mengejutkan adalah ternyata akunnya ada di daftar temanku. Entah aku yang tak
sadar atau bagaimana, aku baru tahu saat itu bahwa sebenarnya ada penyambung
tali silaturrahmi antara kami. Aku mencoba tak peduli. Tak pernah ku usik dia.
Bahkan tak pernah ku lirik akunnya. Hingga tibalah hari itu, beberapa minggu
sebelum pertama kali aku mengirim sesuatu ke dindingnya.
***
“Gimana, lo suka nggak tempatnya?”
“Suka.”
“Lo nggak ikhlas ya maafin gue? Kok lo
manyun gitu?”
Aku hanya menatap wajahnya. Aku akui
tempat ini memang indah banget. Aku saja tidak tahu ada tempat seperti ini di Surabaya.
Aku hanya sedikit enggan mengakuinya.
“Ra, lo nggak kesambet kan? Jangan
bengong gitu dong. Meskipun lo galak
tapi lo cakep kok, Ra, termasuk saat bengong. Tapi, nggak gitu juga kali. Gue
yang horor liatnya.”
Aku tertawa kecil. Ternyata dia pintar
melucu juga.
“kalo ketawa malah tambah cakep. Ciyus
deh.” dia tersenyum.
Aku tersipu. “jayus lo!” jawabku diiring
tawa.
Tidak menyesal menerima ajakan cowok ini.
Dia berhasil membuat aku tertawa lepas, membebaskan diri dari hiruk pikuk dunia
kelas tiga SMA. Mungkin tidak ada salahnya berdamai dengan anak badung ini. Di
sela-sela kenakalannya dia orang yang bertanggung jawab. Buktinya, dia sampai
merasa bersalah begitu banget padaku. Tidak hanya itu, dia mengantarkanku
sampai ke rumah dan menemui mami untuk minta maaf karena membuat aku pulang
telat.
***
Sudah lama
sejak hari itu. Saat aku menulis di dindingnya untuk yang kedua kalinya. Sekuat
tenaga ku tahan untuk melihat profilnya. Aku tak ingin kepastian. Biarkan
probabilitas-probabilitas ini tetap jadi prasangka. Aku takut kecewa, bisa
jadi. Aku juga tak tahu apa yang aku rasakan dan harapkan, darinya.
Him :
Sorry lama ga balas wallnya. Baru on :D
Me : take it easy!
Him : btw,
apa kabar?
Me : Nice J and u?
Him : so
do I J
Obrolan
ini mengalir begitu saja tanpa arah...
Me : (y)
Him :
denger2 skrg lg di singapura ya?
Deg! Bagaimana
bisa?
Me : lo tau dr mana?
Him : Wow,
lo? Kirain msh nyapa aku pake ‘kamu’
Uppsss... what
the hell...
Me : sorry...
Him :
nyante, non. becanda kok.
Me : gue eh aku ehh yeah Im in singapore.
Him :
Great! ga usah kikuk gitu. Call me whatever you want
Sepertinya
lebih natural ber’lo-gue’ dengannya
Me : Lo skrg dmna?
Him : msh
sama sprti kmaren.
Me : Jogja?
Him :
seratus! Gw tinggal Ga jauh dr tmpt favorit kita disini dulu
Aku tak
tahu apa maksud dari kalimat terakhirnya itu.
Him :
Zahra...
Him : Non?
Him :
hello, are u there?
Me : Sorry I have something to do. Bye!
***
“Cieee... lo berdua makin lengket aja
nih, Ra.” celoteh Nabila.
“Apaan sih, Bil.” jawabku seraya
mengernyitkan dahi.
“Ra, nih siomay nya.”
“Kok satu doang? Buat gue mana?” rujuk
Nabila.
“God, gue lupa, Bil. Sumpah! Gue
buru-buru tadi. Maaf ya!”
“Lo mah kalo buat gue aja lupa. Kalo buat
Zahra, apapun deh lo bela-belain. Pilih kasih
aahh.” Nabila mulai berkoar.
“Gimana dong? Abis cuma pesenannya Zahra
yang nancep di otak gue yang memorinya ntah berapa ini.”
Aku hanya tersenyum menyaksikan
pertengkaran mereka berdua.
“Lo, kenapa lagi, Ra, senyam senyum
begitu. Sohib gue lo apain nih, kok jadi begini?”
“Kok gue?” jawabnya. Aku lagi-lagi hanya
diam dan tersenyum.
“Parah deh kalian. Gue nggak kasih restu
deh pokonya kalau lo berdua jadian. Belum apa-apa aja udah gini.”
“Eh, siapa juga yang minta restu lo?
Emang perlu gitu? Nggak kan, Ra?”
“Hah? Maksud lo?” aku benar-benar
mengrti.
“Ya, kalo kita mau jadian... tinggl
jadian aja.”
Aku terpaku. Begitupun Nabila. Dia
cengengesan. “Udah bel. Masuk, yuk.” aku menutup perbincangan yang
membingungkan ini.
***
Tugas-tugas
telah menjadi sahabat sejatiku sejak lama. Karena itu aku tahu, tidak ada
gunanya mengeluh betapa pun sulitnya. Aku tetap harus menyelesaikannya meski
telah memakinya ribuan kali.
Handphoneku
berdering. Sebuah nomor baru.
“Zahra?”
“Ya. Siapa ya?”
“masa lo lupa
sama gue?”
“sorry tapi gak
ada nama lo di kontak gue.”
“Iya. Gue tau.
Tapi nggak berarti lo lupa sama gue juga kan? Baru juga minggu kemaren kita
chating?”
“Chating?” him?
“yoi. Kemaren
lo off cepet banget sih. Terus ga pernah muncul lagi,” Really? “Gue nungguin lo on terus tau. Mana gue gak tau nomor lo.”
lanjutnya.
“lo tau nomor
gue dari mana?”
“Kemaren gue
nanya Ditmar.”
“Oh, ya.”
“Lo lagi
ngapain? Gue ganggu?”
“hmmpp... nggak
ngapain-ngapain sih. Abis ngerjain tugas. Lo?”
“Lagi nelpon
lo.” dia tertawa.
Napasku
tertahan ditenggorokan. Aku tak tahu kenapa. Aku tak tahu harus bilang apa
lagi, “well... lo lagi sibuk apa sekarang?”
Dia bercerita
panjang lebar semuanya tentang hidupnya setelah kami lulus SMA, kecuali tentang
satu hal.
***
Sebenarnya malam ini aku hanya ingin
dirumah. Tidur sepuasnya dan menghapus sisa lelah pasca ujian tengah semester.
Aku telah belajar keras. Saatnya recovery. Rencana indahku akhirnya batal
karena ajakan cowok badung itu. Ajakannya sangat menggoda, makan coklat dan es
krim ditempat itu lagi. Plus plus bisa teriak sekencang-kencangnya. Now, here
we are.
“Udah puas teriaknya, non?”
“udah.”
Hening sejenak.
“Ra, gimana yang kemaren?”
“Kemaren apaan?”
“Itu yang obrolan kita pas ditaman
sekolah, yang sama Nabila juga. Lo mau nggak?”
“Mau apa, sih? Kok gue ga ngeh, ya?” aku
berusaha mengingat-ingat.
“Gimana kalo kita jadian?”
Aku tersedak tanpa sebab. “Jad...
jadian?”
“Iya. Jadian. Kita, lo dan gue pacaran.”
Aku berusaha tertawa. “Gue nggak lagi
bercanda, Ra.”
“oke. Ini bukan candan. Ini beneran.
Terus?”
“terus, kita sekarang pacaran.”
Aku diam saja. Tapi, apa tadi katanya,
“Hah? Pa... pacaran? Kita? Kok bisa?”
“bisa dong. Kan tadi gue nembak lo, terus
kita jadian. Jadi sekarang kita pacaran.”
“Bukannya ada langkah yang ketinggalan,
ya? Harusnya kan lo nembak, gue jawab, kalo iya baru jadian namaya. Ini kan gue
belum jawab?”
“Lha, barusan itu apa? Jawaban kan?”
“hello, itu cuma perumpamaan,
baduuuuung,” aku menjambak rambutnya.
“Perumpamaan yang mengeluarkan suara
hati, kan?” dia menatapku lekat.
Aku menunduk. Tersenyum malu. “Balik,
yuk. Malem nih. Ntar nyokap nyariin.” Aku berjalan menuju motornya.
“Eitss, baru jadian kok udah
ditinggalin.”
***
‘Gnite, non.
Have a nice dream, better dream me’
Sms darinya.
Dia semakin sering ada. Bagaimana bisa? Dulu, sebelum aku mengirim ‘ucapan’
itu, aku ragu, aku takut akan sebuah penolakan. Akhirnya, ku beranikan juga. Nyatanya,
ku dapati dia sangat welcome padaku.
Seperti bumerang.
Aku merasa de
javu. Seperti ada yang kembali pada hidup ini, serpihan yag dulu pernah ada. Aku
sudah tak peduli lagi, terlepas dari siapa yang salah, Aku tak ingin mengulang
masa lalu. Aku sudah menata hidupku sedemikian rupa bersama orang-orang yang ku
cintai dan mencintaiku, juga mereka yang membenciku. Aku kuat. Aku bisa. Lalu
kenapa sekarang, aku rapuh. Dilema.
Bermula dari
sepotong ucapan selamat itu. Sekarang, aku menyesal. Seharusnya aku tidak
pernah mengganggunya. Dia berbagi semuanya, tapi tidak tentang itu. Memang,
yang aku tahu hanya sebatas info status. Tidak lebih. Aku tak ingin rasa itu
tumbuh lagi. Rasa yang telah berhasil aku depak pergi. Andai saja, aku kuasa
bertahan tanpa ingin tahu apapun tentang dia lagi. Aku tak mau, menyakiti
siapapun, terutama mereka.
***
“kenapa, non, manyun gitu? Jelek tau.
Tuh, orang-orang pada takut. Kaya ngeliat setan.” ucapnya seraya duduk
disampingku.
Aku cemberut. “Alaaah, berisik lo, diem
aja kenapa?”
Dia tertawa, “So sweet! Lo? Gue?” dia tak
berhenti menggodaku.
“Biarin,”aku tetap tak mengalihkan
pandangan padanya, “Lo nya nyebelin sih. Orang lagi bete diejekin. Minggat
sana.” usirku. Aku tidak suka di ganggu ketika aku kesal. Aku butuh ketenagan. Sudah
cukup saeabrek tugas dan masalah melanda disekolah, eh dia malah cari
gara-gara.
Senyap. Ucapanku cukup membuat dia tutup
mulut. Sesungguhnya aku merasa bersalah. Dia tidak salah apa-apa. Aku hanya
belum ingin diganggu. Tiba-tiba, Dia menggenggam tanganku dan membuat mataku
dan matanya bertemu, “Listen for me, I do love you. Really really do. Hidup ini
emang penuh masalah, tapi kita pasti bisa menghadapi semuanya. Karena nggak
pernah ada masalah yang dikasih melebihi kemampuan kita untuk bertahan. Aku
pengen kamu cerita sama aku. Berbagi sama aku. Aku akan selalu disini,
disamping kamu, kapanpun kamu butuh, aku ada. Kalau kamu senang, aku ada, kita
tertawa bersama. Kalau kamu terjatuh, aku ada, aku yang akan menegakkan dan
memapah kamu. Kalau kamu letih, aku ada, sama-sama kita buang rasa itu. Kalau
kamu menangis, aku ada, aku yang akan hapus air mata kamu. I am here for you,
always, and ever after.”
Sumpah, baru sekali aku mendengar anak
badung ini dalam banget kata-katanya. Aku sampai nggak tahu mau menjawab apa.
Aku hanya mampu mengutarakan apa yang aku rasakan, “Terimakasih. Aku percayakan
rasa ini untuk kamu, anak badung.” Aku terisak dan meletakkan tanganku diatas
tangannya. Aku yakin dia paham seberapa besar arti hadirnya untukku. Juga,
bagaimana hati ini akan patah ketika dia berubaha. Aku sudah memilih untuk
percaya.
“Believe in me, Non.”
Benar saja, dia benar-benar menjaga
janjinya. Tahun terakhir ini terasa semakin singkat.
***
Kami berjalan
bersama menyusuri sepanjang orchard road. Sebentar lagi Christmas, sudah banyak
sekali pernak-pernik natal bertaburan disini. Entah apa motivasi anak badung
ini kemari. Sebuah telepon membangunkan tidurku tadi pagi dan membuat aku
tercekat. Dia ada disini, baru mendarat dan minta aku menjemput di airport.
Jadilah, sekarang aku seorang tour guide.
“Lo nggak
pengen balik ke Surabaya, Ra?”
“Gue nggak tau.
Gue masih nyaman disini.”
“Emang lo ga
kangen apa sama orang-orang disana? Orang tua lo? Atau siapa gitu? Seseorang?”
Ada getaran
saat dia berkata ‘seseorang’, sekali lagi aku tak ingin bertanya maksudnya apa,
“Kangen. Sekarang kan zaman udah canggih, kita bisa melepas kangen dengan
berbagai cara.”
“Tapi kan beda
dengan ketemu langsung, Ra.” sergahnya cepat.
“kan gue juga
bisa ke sana kapan-kapan. Pake pesawat dalam hitungan jam juga sampai, kan?”
“Tapi tetep
nggak sama kan, Ra, lebih indah saat lo bisa ngeliat orang yang lo sayang
setiap saat. Langsung!”
“Sebenarnya
maksud lo apa sih? Jauh-jauh kesini cuma mau bahas ginian aja?” aku berhenti
berjalan dan berbalik kearahnya.
Dia gelisah.
Mukanya memerah. “Masih mungkin nggak kita seperti dulu lagi, Ra?”
Kalimat itu
terucap juga dari mulutnya. Sesuatu yang membuatku tak henti menebak sekaligus
tidak aku harapkan. Dia memandangku dalam, matanya bercerita berbagai kisah
yang tidak aku mengerti. Lagi-lagi, aku cuma bisa membisu.
***
Si anak badung bikin ulah. Dia memang
pacarku. Tapi aku sama sekali tidak pernah ikut campur urusan dia dan
teman-temannya. Menurutku, dia punya
kebebasan dalam hal itu yang tidak berhak aku otoriter. Namun, kali ini
keterlaluan. Aku tidak suka memendam masalah. Dan itu janji kami. Begitupun
untuk masalah ini. Aku butuh bicara dengannya, sekarang juga. Itu dia, anaknya
kelihatan. Panjang umur sekali dia baru dicari sudah muncul. Belum sempat dia
bicara aku sudah menyeretnya ke belakang sekolah.
“Pagi Non cantik. Ngapain nih kita
kesini?” ujarnya.
“Nggak usah manis gitu. Gue mau ngomong
serius sama lo.”
“Wow! Angry? Whats’up? Any problem?” Aku
tahu sebenarnya dia sudah bisa membaca bahwa aku benar-benar kesal ketika aku
sudah ber-lo-gue- padanya.
“Lo masalahnya. Lo kenapa sih? Sadar dong, liat tuh seragam bentar lagi udah
mau dicopot, masih aja kaya anak kecil. Ngapain sih? Buat nunjukin kalo lo itu
jagoan? Iya?”
“Kamu kenapa sih, pagi buta udah
marah-marah nggak jelas? Masalahnya apa? Aku kenapa?”
“Lo pikir gue nggak tau, tadi malam lo
ngapain, lo mabuk kan?” dia tercekat, “Kenapa? kaget gue tau? Mau alasan apa
lo, sekarang?”
“hey, Ra. Dengerin gue. Gue nggak mabuk,
beneran.”
“Jangan pernah lo bohongin gue. Lo tau
kan apa arti kepercayaan buat gue.” Sambarku tanpa jeda.
“tapi... beneran, Ra. Gue nggak
ikut-ikutan. Lo salah dapat info aja.” Dia mencoba beralasan dengan wajah gusar
yang tak mampu ditutupi.
“Gue bilang jangan bohongin gue. Gue
nggak salah info. Gue tau apa yang lo lakuin tadi malam. Jadi mending lo nggak
usah cari alasan. gue nggak pernah ngelarang lo bergaul sama siapapun. Gue
nggak pernah ngelarang lo ngapain aja sama temen –temen lo, karena gue tahu
kelakuan kalian selama ini wajar. Tapi, ini berlebihan. Gue nggak pengen
ngelarang lo. Gue Cuma pengen yang terbaik buat lo. Gue sayang sama lo.
Terakhir, dan untuk kesekian kalinya, gue nggak suka dibohongin. Kalau lo nggak
mau terbuka sama gue, ya udah, fine. Kita bisa kok jalan sendiri-sendiri.”
Masih banyak yang ingin aku luapkan, tapi
ku tahan. Aku sudah cukup menarik perhatian. Lebih baik aku diam. Ku rasakan
pipiku mulai basah oleh kucuran air. Aku sudah tak kuat lagi. Biarkan senyap
yang bicara. Kadangkala senyap mampu bercerita lebih luas. Cowok dihadapan ku
ini juga masih tak mampu berkata-kata.
“Fine, aku akuin, aku salah. Nggak
seharusnya aku ngelakuin itu. Tapi, please, jangan nangis. Aku nggak bisa liat
kamu sedih, Ra. Aku akan lakuin apapun supaya nggak ada setetes pun air mata
yang jatuh dari mata kamu. Aku janji nggak akan begitu lagi. Ini yang pertama
dan terakhir.”
“Lo punya otak kan? Gimana kalau pihak
sekolah tau dan lo dikeluarin? Lo emang cowok badung. Seenggaknya, pikirin
buruknya buat lo kalo lo ngelakuin itu.” Aku masih terisak.
“Kamu boleh maki aku? Kamu boleh mukulin
aku. Terserah. Asalkan kamu puas dan nggak menangis.” ucapnya seraya menyeka
sudut mataku. Dan, memelukku. “Aku sayang kamu. Terimakasih udah ngawatirin
aku. Aku nggak akan pernah bohongin kamu.”
***
“Aku capek
banget. Aku mau balik ke apartement. Kamu mau aku anterin ke hotel dulu?”
“Zahra, kamu
belum jawab aku.”
“Udahlah. Nggak
ada gunanya ngebahas masa lalu. Sekarang semuanya udah beda. Aku, kamu, hidup
kita, semuanya sudah tidak lagi sama. Lebih baik kita jalanin aja hidup kita
masing-masing, sama seperti tujuh tahun lalu.
***
“Selamat Ulang Tahun, Non. Semuanya, yang
terbaik buat kamu ya sayang. Semoga makin cinta aku.” Doanya.
“Makasih, badung. Kado mana kado?”
tanyaku riang.
“Wah, aku lupa,” dia menepuk jidatnya.
Aku cemberut, “Taraaaaaaa, dia mengeluarkan boneka beruang besar dari tasnya.”
“Bagus banget.” Aku berlonjak kegirangan.
“Aku hampir lupa, aku juga mau kasih kamu sesuatu,” aku mengambil bingkisan
yang telah aku bungkus rapi, “Nih!”.
“Aku buka ya,” katanya sambil membuka
bungkusan itu, “diary?”
“Isinya puisi. Sebagian ada puisi
beberapa penulis lain, sisanya aku yang buat. Itu tentang kamu dan kita,” aku
diam sejenak, “saat kita pisah nanti, aku ingin kamu selalu sadar kalau aku
selalu sayang kamu. Nanti kamu di Jogja baik-baik ya.” Aku berusaha tegar.
“Kamu jangan ngomong gitu dong. Cuma raga
kita yang pisah. Hati kita tetap satu. Percayalah, aku juga sayang kamu selalu
dan selamanya. You are the one and only.”
***
“Aku menyesal,
Ra. Aku tahu aku bodoh. Aku juga nggak habis pikir kenapa bisa sampai gitu,
Ra.”
“Apa itu sebuah
pengakuan?” balasku sinis.
“Aku... Aku...”
dia tergagap, “Aku salah. Ya, aku salah. Aku khilaf.”
“Sebuah
kekhilafan hanya akan terjadi satu kali.”
“saat itu aku
hampa, Ra. Tanpa kamu. Aku... aku kehilangan bagian dari hidup aku, Ra.”
“Mungkin alasan
kamu akan lebih menggugah aku andai kamu ucapkan tujuh tahun lalu. Meski aku
tidak terlalu yakin. Bukan aku yang menghilang. Kamu yang ninggalin aku. Kamu
biarin aku tanpa kabar dari kamu. Sekalinya ada kabar, malah kabar buruk. Siapa
yang lebih sakit?”
“Aku minta
maaf, Ra. Aku minta maaf. Apa aku sehina itu sampai gak pantas dapat maaf dari
kamu?”
“Aku maafin
kamu.”
“Bener, Ra?
Jadi kita bisa kan seperti dulu lagi?”
“Kali ini aku
yang minta maaf, aku nggak bisa.”
***
Akhir-akhir ini banyak sekali yang
berbeda. Sikapnya berubah. Mungkin hatinya juga. Aku berusaha menutup mata. Aku
berharap aku keliru. Sayangnya tidak. Ternyata memang tak mudah menjaga hati
dalam jarak. Sudah lama tak ada kabar darinya. Kali ini, aku benar-benar
peduli. Aku kehilangan teman berbagi. Hingga, kenyataan pahit itu sampai ke
hadapanku.
“Lo yang sabar ya, Ra. Nggak usah nangis
lagi. Cowok itu ga pantes dapet air mata lo.” Nabila memelukku.
“Makasih, ya, Bil. Lo emang sohib gue.”
“That’s what friends are for.”
Sebuah panggilan masuk ke handphoneku.
Nama cowok badung itu terpampang dilayar. Aku memberikan handphone pada Nabila.
“Gue nggak mau ngomong sama dia, bil. Gue
nggak mau kenal dia lagi.”
“Biar gue yang bicara.”
“Hallo.”
“Mau apa lo?”
“Lo siapa? Zahra mana?”
“Ngapain lo nanyain Zahra? Belum puas lo
nyakitin sohib gue?”
“Nabila? Lo ngomong apa sih? Zahra mana?
Gue mau ngomong sama dia.”
“Zahra nggak mau ngomong sama lo. Mulai
sekarang lo nggak usah ganggu dia lagi, ngerti?”
“Kenapa? Dia kan pacar gue?”
“Pacar? Masih? Kemana aja lo belakangan
ini? Nggak tau kan lo, Zahra mikirin lo terus sebulan ini, ternyata apa? Lo
asyik pacaran disana,” hening sejenak, “Diam berarti iya. Rahasia lo udah
terkuak, my man. Jadi, mending lo pergi dari hidup Zahra dan urusin aja pacar
baru lo. Zahra pantas dapat yang lebih baik dari lo. Dia bisa kok hidup tanpa
lo.” Telepon diputus oleh Nabila.
***
“Kali ini aku
yang minta maaf, aku nggak bisa.”
“Tapi, kenapa?”
“Kamu masih
tanya kenapa? Kamu masih ingin mengulang kesalahan yang sama?”
“Kesalahan yang
sama?” ulangnya.
“Jangan kamu
kira, aku nggak tau, kalau sekarang kamu punya pacar. Kamu nggak usah coba
untuk bohongin aku. Nggak ada gunanya kamu buat beribu alasan didepan aku. We
were over. Sudahlah, wake up, sekarang kamu punya.”
“Aku nggak
cinta dia. Aku cinta kamu, Zahra.”
Air mataku
jatuh juga, “Aku nggak tahu, kamu jujur atau bohong. Yang aku mau Jangan pernah
lagi kamu menghancurkan hati seorang wanita, sama seperti kamu ngancurin aku
dulu.”
“Tulus dari
hatiku, aku jujur, aku masih dan selalu mencintai kamu, selalu dan selamanya.’
Kata-kata itu
lagi, “Aku... Aku juga sayang sama kamu.”
“Zahra, kamu
gak bohong kan?”
Bergegas, aku
berlari meninggalkan dia.
***
“Ngapain lo kesini?”
“Gue mau ketemu Zahra, bukan Lo.”
“Dia nggak mau ketemu sama lo.”
“Nabila, please. Gue harus ketemu sama
dia.” Terdengar suara seseorang terjerambab. Nabila? Apa yang sudah anak badung
itu lakukan.
Pintu kamarku diketuk dengan keras dari
luar. Tidak hanya itu, anak badung itu juga berteriak-teriak.
“Zahra, buka pintunya, ra!”
“Ra, please. Aku mau jelasin semuanya.”
“Ra, aku nggak seperti yang kamu kira.
Cuma kamu yang ada dihati aku.”
“Aku akan tungguin kamu disini sampai
keluar nemuin aku, Ra. Aku nggak bakal pergi sebelum kamu dengerin aku.”
Dasar cowok gila. Aku mengetik sebuah sms
untuk Nabila.
‘Bil, suruh dia pergi. Udah malem.’
“Gue udah cukup kasih lo kesempatan. Lo
liat kan, Zahra nggak mau ketemu sama lo.”
“Bil, gue nggak salah. Gue setia sama
dia, Bil. Bilang sama dia. Gue mau ketemu Zahra. Gue mau jelasin sama dia.”
Handphonenya berdering.
‘Cowok
gila, cukup. Gue butuh penjelas apapun. Lbh baik lo pergi.’
‘kita hrs bicara, Ra. Aku ga selingkuh.
Cuma km yg aku cinta.’
‘Gw pernh bilangkn, jgn coba2 bohongin
gw. Gw udh ga peduli lg apapu ttg lo. Urus sj cewek itu. Balik sana. Udh mlm.
Ga enak sama tetangga.’
Aku dengar dia mengumpat. “Ini terakhir
kali, aku pijakin kaki dirumah ini.” Katanya penuh amarah sebelum pulang.
Itulah terakhir kali dia datang kerumah
mengikrarkan sebuah janji serapahnya.
***
Dua sms membawa
aku kembali ke realita. Hiruk pikuk kehidupan.
‘aku tunggu
kamu di merlion park. Aku ingin menjelaskan. Jg butuh penjelasan.’
Sms dari cowok
badung itu lagi. Sepertinya masalah ini masih ingin berdekat-dekatan denganku.
Aku pikir, dia benar juga. Masalah ini harus selesai sekarang.
‘wait for me.’
Balasku.
‘You know, Im
in singapore. Have time to meet?’ sms kedua.
Aku tersenyum.
Lalu membalas, ‘Really? It surprises me. But, I’ve something to do rite now.
U’ll here for a long time, rite?’
Lalu,
kekemudikan mobil menuju Merlion Park.
“Zahra!”
“Hai.” Aku tak
tahu harus mulai dari mana.
“Ra, aku ingin
menetap dimana pun kamu betah tinggal. Aku cinta kamu, Ra. Aku tahu kamu juga,
kan?” tanyanya lugas.
“Aku sayang
kamu, sudah ku katakan kemarin. Benar. Tapi semuanya sudah berbeda. Hidup kita
sudah tidak sama lagi. Kita sudah tidak bisa bersama lagi. Kisah kita sudah
berakhir. Sejak tujuh tahun lalu. Sudah cukup kamu nyakitin aku kemarin. Jangan
ulangin lagi dengan nyakitin cewek itu. Dia bukan bagian dari masalah ini.
kenapa harus dia yang dikorbanin? Lebih baik kamu kasih cinta kamu untuk dia.
Dia pasti lebih membutuhkan kamu.”
“Dia bukan
korban, Ra. Malah, kalau aku sama dia, baru dia akan menjadi korban. Aku juga
nggak mau kamu berkorban hanya untuk dia.”
“Aku nggak
berkorban untuk siapapun. Aku memang masih menyayangi kamu. Rasa itu yang buat
aku menulis didinding kamu. Aku sempat takut kamu nggak mau kenal aku lagi.
Tapi, hanya sebatas itu. Nggak lebih. Sempat, aku takut rasa itu tumbuh lagi.
Untungnya tidak. Itulah kenapa aku menjaga jarak dari kamu.”
“Apa udah ada
orang lain dihati kamu? Apa kamu sekrang udah punya pacar baru?”
“Aku nggak
punya pacar. Aku sendirian disini. Tapi, mungkin memang, aku telah terpikat
pada sosok tak teraih. Dia yang tak pernah mau menjamah seseorang yang bukan
muhrimnya. Dia yang konsisten akan agamanya. Tapi, dia tak terlihat berbeda.
Dia tetap seseorang yang butuh bersosialisasi dengan dunia luar. Dia juga yang
mengajari aku arti roda kehidupan. Sejak mengenal dia, aku jadi lebih dekat
dengan Allah, karena itulah aku mampu bertahan berdiri kokoh menghadapi setiap
masalah yang ada.”
“Dia juga yang
membuat kamu berhijab?”
“Aku berhijab
untuk menunaikan kewajibanku sebagai wanita. Aku semakin dekat dengan pencipta
alam ini juga bukan karena dia, tapi karena hidayah dan kemurahan Allah.”
“Dia siapa?” tanyanya.
“Zahra!” sebuah
suara meneriakkan namaku.
“Fachri.”
Aku berjabat
tangan dengannya, tanpa sentuhan.
“What are you
doing here, girl?” Dia melihat ke arah cowok badung itu, lalu ke arahku lagi.
“He is my
friend, from Surabaya. But, now he lives in Jogja.” Jelasku.
Fachri
manggut-manggut, lalu menyodorkan tangan. Cowok badung ini tanpa ekspresi, dia
memandang Fachri, lalu... menghantamkan tinju padanya. Apa?
“Lo apa-apain
sih?” tanyaku padanya, “Fachri, Are you okay?”
Fachri tetap
berusaha membatasi jarak denganku, “Don’t worry. Im okay. What’s wrong with
him?”
“Nothing. Maafkan
dia.”
“Lo jangan banyak bacot? Jadi lo yang buat
Zahra begini? Siapa sih lo? Mau lo apa?”
“Cukup. Ini
cuma sedikit masalah antara kita. Jangan bawa Fachri.” hardikku padanya.
“Tapi aku nggak
terima, Ra. Dia yang ngerebut kamu.”
“Dia nggak tau
apa-apa.”
“Ra, bilang
sama aku apa yang harus aku lakuin biar aku bisa kembali sama kamu. Katakan!”
dia bicara setengah membentak dan menggenggam tanganku keras.
“Lepasin tangan
Zahra.” Bentak Fachri.
“kamu nggak papa,kan?” tanya Fachri.
“Im okay.”
“Jangan berani
main kasar sama cewek dong, man. Masalah lo, apa? Kenapa bawa-bawa gue? Bilang
sini, sama gue.”
Mereka saling
membulatkan mata. Tuhan, kenapa jadi begini.
“Kalian berdua
berhenti. Aku nggak mau ada baku hantam disini. Fachri sebaiknya sekarang kamu
pergi. Dan, kamu juga, balik sana ke Surabaya.”
“Tapi, Ra...”
jawab mereka berdua serentak.
“Kenapa? Nggak
mau pergi? Aku yang pergi.”
Aku
meninggalkan mereka.
***
“Benar
dugaanku, kamu disini. Merlion Park.”
Aku mengalihkan
perhatian dari layar ipadku ke sumber suara.
“Fachri? Kenapa
nyariin aku?”
“Aku mau minta
maaf soal tempo hari. Sebenarnya aku sudah lama ingin ngubungin kamu. Tapi aku
pikir, kamu pasti butuh waktu untuk menjernihkan pikiran.”
“Kamu nggak
salah kok. Aku yang minta maaf. Karena aku, kamu jadi ikut dalam masalahku.”
Dia tersenyum.
Manis sekali. “Keberatan untuk berbagi?”
Aku
menceritakan semuanya pada Fachri. Melegakan. Aku seperti baru aja membuang
beban besar yang selama ini ku simpan sendirian.
“Bener kamu
nggak mau balikan sama dia? Nggak nyesel?”
“Dia hanya masa
lalu. Seseorang yang aku panggil hadir hanya karena aku tak ingin punya musuh
lagi. Selesai.”
“Hmm, Zahra. Do
you want to be my girl? Accompany me till the end of time and be mother of my children?”
“Are you
serious?”
“Wallahi.”
Aku bahagia.
Aku masih tak percaya. Mungkinkah mimpi itu jadi asa pasti? “Jika benar tak ada
dusta atas apa yang kamu katakan, pergilah ke Surabaya, mintalah izin mereka
atas diriku.”
“Akan ku
lakukan.”
Getaran
handphone menyontakku seakan membuat aku sadar aku tidak sedang terlelap dan
bermimpi.
Sebuah sms...
‘Aku mmang
egois. Aku cm mikirn rasaku. Mgkin sdh trlalu sering kata maaf terucap dr
mulutku. Tp, mmang itu sj yg bisa aku ucapkan. slmanya aku akan tetap dan
selalu cnta km. Km benar, jln kita skrg sdh berbeda. Ak akn bljr mncintai Abel.
Mgkn dialh bagian tulang rusukku yg hilang. Smga km bahagia sm dia. Tp inget
klo dia nyaktin km, crta sm ak. Aku akn jd org pertama yg mengrm dia ke neraka.
’
Byan!
Cowok badung
itu memang gila. Selamanya, dia akan tetap badung. Aku tertawa.
“Zahra?” Fachri
memetik jari didepan mataku, “why?”
“Byan!”
“Byan? Cowok
badung mantan kamu itu? Kenapa? Dia nggak lagi goda kamu kan? kamu nggak bakal
balik sama dia kan?”
“Kalau iya
gimana?”
“Aku akan tetap
temuin mami papi kamu. Atau kalau perlu aku telepon sekarang.”