Monday, November 26, 2012

It's About You and Me



‘Happy Birthday. Get older getter. Wish you all the best!’
“ngomong, nggak ya?” batinku. Berkali-kali hampir aku ucapkan. Sebanyak itu pula aku urungkan. Aku takut, akan sebuah ... PENOLAKAN!
‘Selamat ulang tahun. Semoga panjang umur. Sukses selalu.’
Tidak, aku tak punya cukup keberanian untuk mengutarakan ini. Tapi... “Kenapa jadi ribet gini sih? Tuhan!”
‘selamat ulang tahun J
Well ... Akhirnya tombol ‘post’ kuklik juga. Ucapan itu kini sudah terpampang didinding facebooknya.
***
Tidak ada yang spesial hari ini, hari pertama kembali kesekolah lagi. Hanya kesibukan para penghuni baru sekolah yang menghadapi masa orientasi dan teman-temanku yang asyik bertukar cenderamata. Yah, liburan kemarin sepertinya banyak yang menghabiskan waktu diluar kota. Refreshing, dari seabrek kesibukan dimasa aktif sekolah kemarin. Yang paling utama tentu saja, menikmati liburan se-enjoy mungkin  karena setelah ini hari-hari akan terasa sangat berat. Ini adalah tahun terakhir kami di SMA. Huh, memikirkannya aja, aku sudah pusing duluan! But, wait ... sepertinya ada yang berbeda hari ini. Aku seksama memperhatikan mereka yang ada diseberang sana, kelasku. Heboh sekali. Penasaran melanda. Sayangnya, aku tidak bisa segera kesana. Tugasku mengawasi adik-adik kelas baruku ini belum selesai.
“Zahra!”
Aku menoleh pada sumber suara. Nabila, ternyata.
“lo kenapa? Sakit? Gue liatin dari tadi bengong mulu.”
“Nggak. Gue nggak kenapa-kenapa kok. Cuma lagi mikir aja.”
“haayoo, mikir apa? Mikirin cowok ya? anak baru itu ya, ra?”
“apaan sih, lo.” Jawabku sekenanya. Nabila ngomong, anak baru? “Emang ada anak baru?”
“Adalah. Nih, bocah-bocah didepan lo ini apa?”
Aku melotot padanya. “Kalo mereka gue juga tau. Orang dari tadi sama gue mulu. Kirain anak baru selain mereka.”
“What, Zahra? Lo nggak tau? Anak-anak aja udah pada rusuh gitu. Ada tau, sekelas ama kita. Cowok. Ganteng sih.” Nabila cengengesan.
***
Sudah satu minggu sejak aku mengirim ucapan itu. Mungkin ini saatnya.
Bismillahhirrahmaanirrahiim...
5 friend requests. 2 messages. 8 notifications.
Deg! Ada namanya dibagian pemberitahuan itu. Sesuatu darinya telah ada didindingku. Aku terus bicara pada hati ini kalau itu hanya sekedar ucapan. Hanya!
***
Orientasi tahun ini cukup melelahkan. Ada banyak agenda yang telah kami jadwalkan. Syukurlah, semua berjalan lancar meski sebagai konsekuensinya sampai sore begini aku dan yang lain masih ada sekolah. Kegiatan baru selesai beberapa saat lalu. It is time to go home!
Bug! Aku meringis. Sebuah bola basket sukses mendarat mulus dikepalaku. Sakit sekali. Aku melotot kesal pada cowok-cowok ditengah lapangan. Ingin berang, tapi ku pikir tidak ada gunanya. Ringkasnya, Mungkin mereka tidak sengaja. Lebih baik segera pulang. Toh, rasa sakit ini tidak hilang dengan amukanku dan sepotong kata maaf dari mereka.
“Tunggu!” sebuah suara menghentikan langkahku. Aku menoleh kebelakang. Siapa? Aku merasa tidak mengenalnya. Sempat mengira dia anak sekolah lain. Setelah memperhatikan seragamnya, segera ku vonis, aku salah.
“Gue... Gue...” dia mengacak-acak rambut cepaknya, “Gue minta maaf.”
Aku masih mematung. Tidak mengerti.
“Mungkin lo bingung. Lo nggak kenal gue, ya kan? Gue anak baru. Sekali lagi, gue minta maaf!” tegasnya.
“Well.. lo anak baru makanya gue nggak kenal lo, gue ngerti. Tapi, maaf... maaf untuk?” tanyaku.
“Itu... tadi kepala lo... eh... gimana ya? Hmmm... Bola yang tadi kena kepala gara-gara... gue.”
Aku tercekat. Jadi, dia tersangkanya. Kesalku sudah termakan lelah sebenarnya. “Oh, ya. Oke, ga papa.”
“Lo baik-baik ajakan?”
“I’m okay. Don’t worry.”
Dia bergumam. Aku mengerutkan dahi. “Gue dimaafin, kan?” tanyanya lagi.
Aku melotot padanya. Obrolan padanya sudah sangat membuang waktuku. Seharusnya, sekarang aku sudah hampir setengah perjalanan ke rumah. Aku sudah sangat lelah. Kemarahan yang tadi coba aku pendam kini hampir menemui puncaknya. Lebih baik aku pergi.
***
‘Thanks, Zahra J I am surprised you still remeber.’
Entah apa yang ada di kepala ini saat aku membacanya. Bukankah malam itu Dia... Dia... Ahh sudahlah! Apa aku yang terlalu memikirkan?
***
“Zahra, gue tau gue salah. Makanya gue minta maaf.” Sudah hampir seminggu dia selalu menguntitku dan membahas masalah yang sama.
Dia menarik tanganku, “Zahra, please. Lo mau kan maafin gue?”
“Dimaafkan!” dia mengelus dada, “Lepasin tangan gue,” Dia melepas cengkramannya, “Dan berhenti jadi penguntit. Sekarang, sebaiknya lo pergi.”
Dia tidak beranjak. Dia malah melongo memandangku tidak jelas entah kenapa. Tidak ada gunanya menunggu. Aku saja yang pergi.
“Eitssss, ra, tunggu, ra. Gue belum kelar.”
“apalagi sih? Lo kan udah gue maafin?” jawabku tanpa berbalik.
Dia menghampiriku, “Sebagai tebusan atas kesalahan gue, gue mau traktir lo makan. Mau kan?”
“Gue gak ada waktu.”
Wajahnya berubah, “Yaaah, please, ra, massa lo biarin gue ngerasa bersalah mulu, Ra? Ayolahh... kalau lo nggak mau...”
“Kalau gue nggak mau, kenapa?”
“Gue bakal buntutin lo terus.”
“Nggak peduli!” aku ngeloyor pergi.
Sial, ternyata dia tidak main-main. Aku sudah jengah atas ulah kekanak-kanakan cowok baru ini. Setiap ada kesempatan dia selalu menempel padaku dan mengulang ajakan yang sama. Parahnya, dia sekelas denganku. Layaknya dugaanku, dia adalah anak badung. Baru berapa minggu sekolah saja dia sudah berkomplot dengan anak cowok super jahil disekolahku. Mereka memang bukan berandalan. Tapi, kadangkala ketika sampai batas maksimum keisengannya, mereka sangat keterlaluan. Hampir saja, dia berhasil membujuk Nabila untuk pindah tempat duduk. Untung saja, Nabila lebih takut pada ancamanku. Apa sih yang dia mau? Yang penting kan sudah diaafkan. Aku menyerah, setelah lebih dua minggu dia seakan jadi seperti pengawalku dan sukses tersebar gosip panas bahwa dia adalah ‘pacar’ku. Tidak! Aku menuruti keinginannya demi reputasi dan nama baikku, bukan karena aku kalah darinya.
***
Jari-jari ini ternyata tak kuasa menahan untuk tidak merespon. Akhirnya sekali lagi...
‘So do I. Still dont believe this is you :D’
Dari apa yang dia tulis kemarin, setidaknya aku tahu, aku tidak ditolak. Aku tak berharap dia akan membalas lagi. Aku hanya mau perpesanan dinding ini tidak berakhir di aku. Sudah sejak lama aku berniat  mengucapkan selamat dihari jadinya. Tapi, aku belum menemukan caranya. Hingga suatu hari aku menemukan namanya dalam deretan nama teman di grup facebook sekolahku. Yang lebih mengejutkan adalah ternyata akunnya ada di daftar temanku. Entah aku yang tak sadar atau bagaimana, aku baru tahu saat itu bahwa sebenarnya ada penyambung tali silaturrahmi antara kami. Aku mencoba tak peduli. Tak pernah ku usik dia. Bahkan tak pernah ku lirik akunnya. Hingga tibalah hari itu, beberapa minggu sebelum pertama kali aku mengirim sesuatu ke dindingnya.
***
“Gimana, lo suka nggak tempatnya?”
“Suka.”
“Lo nggak ikhlas ya maafin gue? Kok lo manyun gitu?”
Aku hanya menatap wajahnya. Aku akui tempat ini memang indah banget. Aku saja tidak tahu ada tempat seperti ini di Surabaya. Aku hanya sedikit enggan mengakuinya.
“Ra, lo nggak kesambet kan? Jangan bengong gitu dong.  Meskipun lo galak tapi lo cakep kok, Ra, termasuk saat bengong. Tapi, nggak gitu juga kali. Gue yang horor liatnya.”
Aku tertawa kecil. Ternyata dia pintar melucu juga.
“kalo ketawa malah tambah cakep. Ciyus deh.” dia tersenyum.
Aku tersipu. “jayus lo!” jawabku diiring tawa.
Tidak menyesal menerima ajakan cowok ini. Dia berhasil membuat aku tertawa lepas, membebaskan diri dari hiruk pikuk dunia kelas tiga SMA. Mungkin tidak ada salahnya berdamai dengan anak badung ini. Di sela-sela kenakalannya dia orang yang bertanggung jawab. Buktinya, dia sampai merasa bersalah begitu banget padaku. Tidak hanya itu, dia mengantarkanku sampai ke rumah dan menemui mami untuk minta maaf karena membuat aku pulang telat.
***
Sudah lama sejak hari itu. Saat aku menulis di dindingnya untuk yang kedua kalinya. Sekuat tenaga ku tahan untuk melihat profilnya. Aku tak ingin kepastian. Biarkan probabilitas-probabilitas ini tetap jadi prasangka. Aku takut kecewa, bisa jadi. Aku juga tak tahu apa yang aku rasakan dan harapkan, darinya.
Him : Sorry lama ga balas wallnya. Baru on :D
Me  : take it easy!
Him : btw, apa kabar?
Me  : Nice J and u?
Him : so do I J
Obrolan ini mengalir begitu saja tanpa arah...
Me  : (y)
Him : denger2 skrg lg di singapura ya?
Deg! Bagaimana bisa?
Me  : lo tau dr mana?
Him : Wow, lo? Kirain msh nyapa aku pake ‘kamu’
Uppsss... what the hell...
Me  : sorry...
Him : nyante, non. becanda kok.
Me  : gue eh aku ehh yeah Im in singapore.
Him : Great! ga usah kikuk gitu. Call me whatever you want
Sepertinya lebih natural ber’lo-gue’ dengannya
Me  : Lo skrg dmna?
Him : msh sama sprti kmaren.
Me  : Jogja?
Him : seratus! Gw tinggal Ga jauh dr tmpt favorit kita disini dulu
Aku tak tahu apa maksud dari kalimat terakhirnya itu.
Him : Zahra...
Him : Non?
Him : hello, are u there?
Me  : Sorry I have something to do. Bye!
***
“Cieee... lo berdua makin lengket aja nih, Ra.” celoteh Nabila.
“Apaan sih, Bil.” jawabku seraya mengernyitkan dahi.
“Ra, nih siomay nya.”
“Kok satu doang? Buat gue mana?” rujuk Nabila.
“God, gue lupa, Bil. Sumpah! Gue buru-buru tadi. Maaf ya!”
“Lo mah kalo buat gue aja lupa. Kalo buat Zahra, apapun deh  lo bela-belain. Pilih kasih aahh.” Nabila mulai berkoar.
“Gimana dong? Abis cuma pesenannya Zahra yang nancep di otak gue yang memorinya ntah berapa ini.”
Aku hanya tersenyum menyaksikan pertengkaran mereka berdua.
“Lo, kenapa lagi, Ra, senyam senyum begitu. Sohib gue lo apain nih, kok jadi begini?”
“Kok gue?” jawabnya. Aku lagi-lagi hanya diam dan tersenyum.
“Parah deh kalian. Gue nggak kasih restu deh pokonya kalau lo berdua jadian. Belum apa-apa aja udah gini.”
“Eh, siapa juga yang minta restu lo? Emang perlu gitu? Nggak kan, Ra?”
“Hah? Maksud lo?” aku benar-benar mengrti.
“Ya, kalo kita mau jadian... tinggl jadian aja.”
Aku terpaku. Begitupun Nabila. Dia cengengesan. “Udah bel. Masuk, yuk.” aku menutup perbincangan yang membingungkan ini.
***
Tugas-tugas telah menjadi sahabat sejatiku sejak lama. Karena itu aku tahu, tidak ada gunanya mengeluh betapa pun sulitnya. Aku tetap harus menyelesaikannya meski telah memakinya ribuan kali.
Handphoneku berdering. Sebuah nomor baru.
“Zahra?”
“Ya. Siapa ya?”
“masa lo lupa sama gue?”
“sorry tapi gak ada nama lo di kontak gue.”
“Iya. Gue tau. Tapi nggak berarti lo lupa sama gue juga kan? Baru juga minggu kemaren kita chating?”
“Chating?” him?
“yoi. Kemaren lo off cepet banget sih. Terus ga pernah muncul lagi,” Really? “Gue nungguin lo on terus tau. Mana gue gak tau nomor lo.” lanjutnya.
“lo tau nomor gue dari mana?”
“Kemaren gue nanya Ditmar.”
“Oh, ya.”
“Lo lagi ngapain? Gue ganggu?”
“hmmpp... nggak ngapain-ngapain sih. Abis ngerjain tugas. Lo?”
“Lagi nelpon lo.” dia tertawa.
Napasku tertahan ditenggorokan. Aku tak tahu kenapa. Aku tak tahu harus bilang apa lagi, “well... lo lagi sibuk apa sekarang?”
Dia bercerita panjang lebar semuanya tentang hidupnya setelah kami lulus SMA, kecuali tentang satu hal.
***
Sebenarnya malam ini aku hanya ingin dirumah. Tidur sepuasnya dan menghapus sisa lelah pasca ujian tengah semester. Aku telah belajar keras. Saatnya recovery. Rencana indahku akhirnya batal karena ajakan cowok badung itu. Ajakannya sangat menggoda, makan coklat dan es krim ditempat itu lagi. Plus plus bisa teriak sekencang-kencangnya. Now, here we are.
“Udah puas teriaknya, non?”
“udah.”
Hening sejenak.
“Ra, gimana yang kemaren?”
“Kemaren apaan?”
“Itu yang obrolan kita pas ditaman sekolah, yang sama Nabila juga. Lo mau nggak?”
“Mau apa, sih? Kok gue ga ngeh, ya?” aku berusaha mengingat-ingat.
“Gimana kalo kita jadian?”
Aku tersedak tanpa sebab. “Jad... jadian?”
“Iya. Jadian. Kita, lo dan gue pacaran.”
Aku berusaha tertawa. “Gue nggak lagi bercanda, Ra.”
“oke. Ini bukan candan. Ini beneran. Terus?”
“terus, kita sekarang pacaran.”
Aku diam saja. Tapi, apa tadi katanya, “Hah? Pa... pacaran? Kita? Kok bisa?”
“bisa dong. Kan tadi gue nembak lo, terus kita jadian. Jadi sekarang kita pacaran.”
“Bukannya ada langkah yang ketinggalan, ya? Harusnya kan lo nembak, gue jawab, kalo iya baru jadian namaya. Ini kan gue belum jawab?”
“Lha, barusan itu apa? Jawaban kan?”
“hello, itu cuma perumpamaan, baduuuuung,” aku menjambak rambutnya.
“Perumpamaan yang mengeluarkan suara hati, kan?” dia menatapku lekat.
Aku menunduk. Tersenyum malu. “Balik, yuk. Malem nih. Ntar nyokap nyariin.” Aku berjalan menuju motornya.
“Eitss, baru jadian kok udah ditinggalin.”
***
‘Gnite, non. Have a nice dream, better dream me’
Sms darinya. Dia semakin sering ada. Bagaimana bisa? Dulu, sebelum aku mengirim ‘ucapan’ itu, aku ragu, aku takut akan sebuah penolakan. Akhirnya, ku beranikan juga. Nyatanya, ku dapati dia sangat welcome padaku. Seperti bumerang.
Aku merasa de javu. Seperti ada yang kembali pada hidup ini, serpihan yag dulu pernah ada. Aku sudah tak peduli lagi, terlepas dari siapa yang salah, Aku tak ingin mengulang masa lalu. Aku sudah menata hidupku sedemikian rupa bersama orang-orang yang ku cintai dan mencintaiku, juga mereka yang membenciku. Aku kuat. Aku bisa. Lalu kenapa sekarang, aku rapuh. Dilema.
Bermula dari sepotong ucapan selamat itu. Sekarang, aku menyesal. Seharusnya aku tidak pernah mengganggunya. Dia berbagi semuanya, tapi tidak tentang itu. Memang, yang aku tahu hanya sebatas info status. Tidak lebih. Aku tak ingin rasa itu tumbuh lagi. Rasa yang telah berhasil aku depak pergi. Andai saja, aku kuasa bertahan tanpa ingin tahu apapun tentang dia lagi. Aku tak mau, menyakiti siapapun, terutama mereka.
***
“kenapa, non, manyun gitu? Jelek tau. Tuh, orang-orang pada takut. Kaya ngeliat setan.” ucapnya seraya duduk disampingku.
Aku cemberut. “Alaaah, berisik lo, diem aja kenapa?”
Dia tertawa, “So sweet! Lo? Gue?” dia tak berhenti menggodaku.
“Biarin,”aku tetap tak mengalihkan pandangan padanya, “Lo nya nyebelin sih. Orang lagi bete diejekin. Minggat sana.” usirku. Aku tidak suka di ganggu ketika aku kesal. Aku butuh ketenagan. Sudah cukup saeabrek tugas dan masalah melanda disekolah, eh dia malah cari gara-gara.
Senyap. Ucapanku cukup membuat dia tutup mulut. Sesungguhnya aku merasa bersalah. Dia tidak salah apa-apa. Aku hanya belum ingin diganggu. Tiba-tiba, Dia menggenggam tanganku dan membuat mataku dan matanya bertemu, “Listen for me, I do love you. Really really do. Hidup ini emang penuh masalah, tapi kita pasti bisa menghadapi semuanya. Karena nggak pernah ada masalah yang dikasih melebihi kemampuan kita untuk bertahan. Aku pengen kamu cerita sama aku. Berbagi sama aku. Aku akan selalu disini, disamping kamu, kapanpun kamu butuh, aku ada. Kalau kamu senang, aku ada, kita tertawa bersama. Kalau kamu terjatuh, aku ada, aku yang akan menegakkan dan memapah kamu. Kalau kamu letih, aku ada, sama-sama kita buang rasa itu. Kalau kamu menangis, aku ada, aku yang akan hapus air mata kamu. I am here for you, always, and ever after.”
Sumpah, baru sekali aku mendengar anak badung ini dalam banget kata-katanya. Aku sampai nggak tahu mau menjawab apa. Aku hanya mampu mengutarakan apa yang aku rasakan, “Terimakasih. Aku percayakan rasa ini untuk kamu, anak badung.” Aku terisak dan meletakkan tanganku diatas tangannya. Aku yakin dia paham seberapa besar arti hadirnya untukku. Juga, bagaimana hati ini akan patah ketika dia berubaha. Aku sudah memilih untuk percaya.
“Believe in me, Non.”
Benar saja, dia benar-benar menjaga janjinya. Tahun terakhir ini terasa semakin singkat.
***
Kami berjalan bersama menyusuri sepanjang orchard road. Sebentar lagi Christmas, sudah banyak sekali pernak-pernik natal bertaburan disini. Entah apa motivasi anak badung ini kemari. Sebuah telepon membangunkan tidurku tadi pagi dan membuat aku tercekat. Dia ada disini, baru mendarat dan minta aku menjemput di airport. Jadilah, sekarang aku seorang tour guide.
“Lo nggak pengen balik ke Surabaya, Ra?”
“Gue nggak tau. Gue masih nyaman disini.”
“Emang lo ga kangen apa sama orang-orang disana? Orang tua lo? Atau siapa gitu? Seseorang?”
Ada getaran saat dia berkata ‘seseorang’, sekali lagi aku tak ingin bertanya maksudnya apa, “Kangen. Sekarang kan zaman udah canggih, kita bisa melepas kangen dengan berbagai cara.”
“Tapi kan beda dengan ketemu langsung, Ra.” sergahnya cepat.
“kan gue juga bisa ke sana kapan-kapan. Pake pesawat dalam hitungan jam juga sampai, kan?”
“Tapi tetep nggak sama kan, Ra, lebih indah saat lo bisa ngeliat orang yang lo sayang setiap saat. Langsung!”
“Sebenarnya maksud lo apa sih? Jauh-jauh kesini cuma mau bahas ginian aja?” aku berhenti berjalan dan berbalik kearahnya.
Dia gelisah. Mukanya memerah. “Masih mungkin nggak kita seperti dulu lagi, Ra?”
Kalimat itu terucap juga dari mulutnya. Sesuatu yang membuatku tak henti menebak sekaligus tidak aku harapkan. Dia memandangku dalam, matanya bercerita berbagai kisah yang tidak aku mengerti. Lagi-lagi, aku cuma bisa membisu.
***
Si anak badung bikin ulah. Dia memang pacarku. Tapi aku sama sekali tidak pernah ikut campur urusan dia dan teman-temannya.  Menurutku, dia punya kebebasan dalam hal itu yang tidak berhak aku otoriter. Namun, kali ini keterlaluan. Aku tidak suka memendam masalah. Dan itu janji kami. Begitupun untuk masalah ini. Aku butuh bicara dengannya, sekarang juga. Itu dia, anaknya kelihatan. Panjang umur sekali dia baru dicari sudah muncul. Belum sempat dia bicara aku sudah menyeretnya ke belakang sekolah.
“Pagi Non cantik. Ngapain nih kita kesini?” ujarnya.
“Nggak usah manis gitu. Gue mau ngomong serius sama lo.”
“Wow! Angry? Whats’up? Any problem?” Aku tahu sebenarnya dia sudah bisa membaca bahwa aku benar-benar kesal ketika aku sudah ber-lo-gue- padanya.
“Lo masalahnya. Lo kenapa sih?  Sadar dong, liat tuh seragam bentar lagi udah mau dicopot, masih aja kaya anak kecil. Ngapain sih? Buat nunjukin kalo lo itu jagoan? Iya?”
“Kamu kenapa sih, pagi buta udah marah-marah nggak jelas? Masalahnya apa? Aku kenapa?”
“Lo pikir gue nggak tau, tadi malam lo ngapain, lo mabuk kan?” dia tercekat, “Kenapa? kaget gue tau? Mau alasan apa lo, sekarang?”
“hey, Ra. Dengerin gue. Gue nggak mabuk, beneran.”
“Jangan pernah lo bohongin gue. Lo tau kan apa arti kepercayaan buat gue.” Sambarku tanpa jeda.
“tapi... beneran, Ra. Gue nggak ikut-ikutan. Lo salah dapat info aja.” Dia mencoba beralasan dengan wajah gusar yang tak mampu ditutupi.
“Gue bilang jangan bohongin gue. Gue nggak salah info. Gue tau apa yang lo lakuin tadi malam. Jadi mending lo nggak usah cari alasan. gue nggak pernah ngelarang lo bergaul sama siapapun. Gue nggak pernah ngelarang lo ngapain aja sama temen –temen lo, karena gue tahu kelakuan kalian selama ini wajar. Tapi, ini berlebihan. Gue nggak pengen ngelarang lo. Gue Cuma pengen yang terbaik buat lo. Gue sayang sama lo. Terakhir, dan untuk kesekian kalinya, gue nggak suka dibohongin. Kalau lo nggak mau terbuka sama gue, ya udah, fine. Kita bisa kok jalan sendiri-sendiri.”
Masih banyak yang ingin aku luapkan, tapi ku tahan. Aku sudah cukup menarik perhatian. Lebih baik aku diam. Ku rasakan pipiku mulai basah oleh kucuran air. Aku sudah tak kuat lagi. Biarkan senyap yang bicara. Kadangkala senyap mampu bercerita lebih luas. Cowok dihadapan ku ini juga masih tak mampu berkata-kata.
“Fine, aku akuin, aku salah. Nggak seharusnya aku ngelakuin itu. Tapi, please, jangan nangis. Aku nggak bisa liat kamu sedih, Ra. Aku akan lakuin apapun supaya nggak ada setetes pun air mata yang jatuh dari mata kamu. Aku janji nggak akan begitu lagi. Ini yang pertama dan terakhir.”
“Lo punya otak kan? Gimana kalau pihak sekolah tau dan lo dikeluarin? Lo emang cowok badung. Seenggaknya, pikirin buruknya buat lo kalo lo ngelakuin itu.” Aku masih terisak.
“Kamu boleh maki aku? Kamu boleh mukulin aku. Terserah. Asalkan kamu puas dan nggak menangis.” ucapnya seraya menyeka sudut mataku. Dan, memelukku. “Aku sayang kamu. Terimakasih udah ngawatirin aku. Aku nggak akan pernah bohongin kamu.”
***
“Aku capek banget. Aku mau balik ke apartement. Kamu mau aku anterin ke hotel dulu?”
“Zahra, kamu belum jawab aku.”
“Udahlah. Nggak ada gunanya ngebahas masa lalu. Sekarang semuanya udah beda. Aku, kamu, hidup kita, semuanya sudah tidak lagi sama. Lebih baik kita jalanin aja hidup kita masing-masing, sama seperti tujuh tahun lalu.
***
“Selamat Ulang Tahun, Non. Semuanya, yang terbaik buat kamu ya sayang. Semoga makin cinta aku.” Doanya.
“Makasih, badung. Kado mana kado?” tanyaku riang.
“Wah, aku lupa,” dia menepuk jidatnya. Aku cemberut, “Taraaaaaaa, dia mengeluarkan boneka beruang besar dari tasnya.”
“Bagus banget.” Aku berlonjak kegirangan. “Aku hampir lupa, aku juga mau kasih kamu sesuatu,” aku mengambil bingkisan yang telah aku bungkus rapi, “Nih!”.
“Aku buka ya,” katanya sambil membuka bungkusan itu, “diary?”
“Isinya puisi. Sebagian ada puisi beberapa penulis lain, sisanya aku yang buat. Itu tentang kamu dan kita,” aku diam sejenak, “saat kita pisah nanti, aku ingin kamu selalu sadar kalau aku selalu sayang kamu. Nanti kamu di Jogja baik-baik ya.” Aku berusaha tegar.
“Kamu jangan ngomong gitu dong. Cuma raga kita yang pisah. Hati kita tetap satu. Percayalah, aku juga sayang kamu selalu dan selamanya. You are the one and only.”
***
“Aku menyesal, Ra. Aku tahu aku bodoh. Aku juga nggak habis pikir kenapa bisa sampai gitu, Ra.”
“Apa itu sebuah pengakuan?” balasku sinis.
“Aku... Aku...” dia tergagap, “Aku salah. Ya, aku salah. Aku khilaf.”
“Sebuah kekhilafan hanya akan terjadi satu kali.”
“saat itu aku hampa, Ra. Tanpa kamu. Aku... aku kehilangan bagian dari hidup aku, Ra.”
“Mungkin alasan kamu akan lebih menggugah aku andai kamu ucapkan tujuh tahun lalu. Meski aku tidak terlalu yakin. Bukan aku yang menghilang. Kamu yang ninggalin aku. Kamu biarin aku tanpa kabar dari kamu. Sekalinya ada kabar, malah kabar buruk. Siapa yang lebih sakit?”
“Aku minta maaf, Ra. Aku minta maaf. Apa aku sehina itu sampai gak pantas dapat maaf dari kamu?”
“Aku maafin kamu.”
“Bener, Ra? Jadi kita bisa kan seperti dulu lagi?”
“Kali ini aku yang minta maaf, aku nggak bisa.”
***
Akhir-akhir ini banyak sekali yang berbeda. Sikapnya berubah. Mungkin hatinya juga. Aku berusaha menutup mata. Aku berharap aku keliru. Sayangnya tidak. Ternyata memang tak mudah menjaga hati dalam jarak. Sudah lama tak ada kabar darinya. Kali ini, aku benar-benar peduli. Aku kehilangan teman berbagi. Hingga, kenyataan pahit itu sampai ke hadapanku.
“Lo yang sabar ya, Ra. Nggak usah nangis lagi. Cowok itu ga pantes dapet air mata lo.” Nabila memelukku.
“Makasih, ya, Bil. Lo emang sohib gue.”
“That’s what friends are for.”
Sebuah panggilan masuk ke handphoneku. Nama cowok badung itu terpampang dilayar. Aku memberikan handphone pada Nabila.
“Gue nggak mau ngomong sama dia, bil. Gue nggak mau kenal dia lagi.”
“Biar gue yang bicara.”
“Hallo.”
“Mau apa lo?”
“Lo siapa? Zahra mana?”
“Ngapain lo nanyain Zahra? Belum puas lo nyakitin sohib gue?”
“Nabila? Lo ngomong apa sih? Zahra mana? Gue mau ngomong sama dia.”
“Zahra nggak mau ngomong sama lo. Mulai sekarang lo nggak usah ganggu dia lagi, ngerti?”
“Kenapa? Dia kan pacar gue?”
“Pacar? Masih? Kemana aja lo belakangan ini? Nggak tau kan lo, Zahra mikirin lo terus sebulan ini, ternyata apa? Lo asyik pacaran disana,” hening sejenak, “Diam berarti iya. Rahasia lo udah terkuak, my man. Jadi, mending lo pergi dari hidup Zahra dan urusin aja pacar baru lo. Zahra pantas dapat yang lebih baik dari lo. Dia bisa kok hidup tanpa lo.” Telepon diputus oleh Nabila.
***
“Kali ini aku yang minta maaf, aku nggak bisa.”
“Tapi, kenapa?”
“Kamu masih tanya kenapa? Kamu masih ingin mengulang kesalahan yang sama?”
“Kesalahan yang sama?” ulangnya.
“Jangan kamu kira, aku nggak tau, kalau sekarang kamu punya pacar. Kamu nggak usah coba untuk bohongin aku. Nggak ada gunanya kamu buat beribu alasan didepan aku. We were over. Sudahlah, wake up, sekarang kamu punya.”
“Aku nggak cinta dia. Aku cinta kamu, Zahra.”
Air mataku jatuh juga, “Aku nggak tahu, kamu jujur atau bohong. Yang aku mau Jangan pernah lagi kamu menghancurkan hati seorang wanita, sama seperti kamu ngancurin aku dulu.”
“Tulus dari hatiku, aku jujur, aku masih dan selalu mencintai kamu, selalu dan selamanya.’
Kata-kata itu lagi, “Aku... Aku juga sayang sama kamu.”
“Zahra, kamu gak bohong kan?”
Bergegas, aku berlari meninggalkan dia.
***
“Ngapain lo kesini?”
“Gue mau ketemu Zahra, bukan Lo.”
“Dia nggak mau ketemu sama lo.”
“Nabila, please. Gue harus ketemu sama dia.” Terdengar suara seseorang terjerambab. Nabila? Apa yang sudah anak badung itu lakukan.
Pintu kamarku diketuk dengan keras dari luar. Tidak hanya itu, anak badung itu juga berteriak-teriak.
“Zahra, buka pintunya, ra!”
“Ra, please. Aku mau jelasin semuanya.”
“Ra, aku nggak seperti yang kamu kira. Cuma kamu yang ada dihati aku.”
“Aku akan tungguin kamu disini sampai keluar nemuin aku, Ra. Aku nggak bakal pergi sebelum kamu dengerin aku.”
Dasar cowok gila. Aku mengetik sebuah sms untuk Nabila.
‘Bil, suruh dia pergi. Udah malem.’
“Gue udah cukup kasih lo kesempatan. Lo liat kan, Zahra nggak mau ketemu sama lo.”
“Bil, gue nggak salah. Gue setia sama dia, Bil. Bilang sama dia. Gue mau ketemu Zahra. Gue mau jelasin sama dia.”
Handphonenya berdering.
 ‘Cowok gila, cukup. Gue butuh penjelas apapun. Lbh baik lo pergi.’
‘kita hrs bicara, Ra. Aku ga selingkuh. Cuma km yg aku cinta.’
‘Gw pernh bilangkn, jgn coba2 bohongin gw. Gw udh ga peduli lg apapu ttg lo. Urus sj cewek itu. Balik sana. Udh mlm. Ga enak sama tetangga.’
Aku dengar dia mengumpat. “Ini terakhir kali, aku pijakin kaki dirumah ini.” Katanya penuh amarah sebelum pulang.
Itulah terakhir kali dia datang kerumah mengikrarkan sebuah janji serapahnya.
***
Dua sms membawa aku kembali ke realita. Hiruk pikuk kehidupan.
‘aku tunggu kamu di merlion park. Aku ingin menjelaskan. Jg butuh penjelasan.’
Sms dari cowok badung itu lagi. Sepertinya masalah ini masih ingin berdekat-dekatan denganku. Aku pikir, dia benar juga. Masalah ini harus selesai sekarang.
‘wait for me.’ Balasku.
‘You know, Im in singapore. Have time to meet?’ sms kedua.
Aku tersenyum. Lalu membalas, ‘Really? It surprises me. But, I’ve something to do rite now. U’ll here for a long time, rite?’
Lalu, kekemudikan mobil menuju Merlion Park.
“Zahra!”
“Hai.” Aku tak tahu harus mulai dari mana.
“Ra, aku ingin menetap dimana pun kamu betah tinggal. Aku cinta kamu, Ra. Aku tahu kamu juga, kan?” tanyanya lugas.
“Aku sayang kamu, sudah ku katakan kemarin. Benar. Tapi semuanya sudah berbeda. Hidup kita sudah tidak sama lagi. Kita sudah tidak bisa bersama lagi. Kisah kita sudah berakhir. Sejak tujuh tahun lalu. Sudah cukup kamu nyakitin aku kemarin. Jangan ulangin lagi dengan nyakitin cewek itu. Dia bukan bagian dari masalah ini. kenapa harus dia yang dikorbanin? Lebih baik kamu kasih cinta kamu untuk dia. Dia pasti lebih membutuhkan kamu.”
“Dia bukan korban, Ra. Malah, kalau aku sama dia, baru dia akan menjadi korban. Aku juga nggak mau kamu berkorban hanya untuk dia.”
“Aku nggak berkorban untuk siapapun. Aku memang masih menyayangi kamu. Rasa itu yang buat aku menulis didinding kamu. Aku sempat takut kamu nggak mau kenal aku lagi. Tapi, hanya sebatas itu. Nggak lebih. Sempat, aku takut rasa itu tumbuh lagi. Untungnya tidak. Itulah kenapa aku menjaga jarak dari kamu.”
“Apa udah ada orang lain dihati kamu? Apa kamu sekrang udah punya pacar baru?”
“Aku nggak punya pacar. Aku sendirian disini. Tapi, mungkin memang, aku telah terpikat pada sosok tak teraih. Dia yang tak pernah mau menjamah seseorang yang bukan muhrimnya. Dia yang konsisten akan agamanya. Tapi, dia tak terlihat berbeda. Dia tetap seseorang yang butuh bersosialisasi dengan dunia luar. Dia juga yang mengajari aku arti roda kehidupan. Sejak mengenal dia, aku jadi lebih dekat dengan Allah, karena itulah aku mampu bertahan berdiri kokoh menghadapi setiap masalah yang ada.”
“Dia juga yang membuat kamu berhijab?”
“Aku berhijab untuk menunaikan kewajibanku sebagai wanita. Aku semakin dekat dengan pencipta alam ini juga bukan karena dia, tapi karena hidayah dan kemurahan Allah.”
 “Dia siapa?” tanyanya.
“Zahra!” sebuah suara meneriakkan namaku.
“Fachri.”
Aku berjabat tangan dengannya, tanpa sentuhan.
“What are you doing here, girl?” Dia melihat ke arah cowok badung itu, lalu ke arahku lagi.
“He is my friend, from Surabaya. But, now he lives in Jogja.” Jelasku.
Fachri manggut-manggut, lalu menyodorkan tangan. Cowok badung ini tanpa ekspresi, dia memandang Fachri, lalu... menghantamkan tinju padanya. Apa?
“Lo apa-apain sih?” tanyaku padanya, “Fachri, Are you okay?”
Fachri tetap berusaha membatasi jarak denganku, “Don’t worry. Im okay. What’s wrong with him?”
“Nothing. Maafkan dia.”
 “Lo jangan banyak bacot? Jadi lo yang buat Zahra begini? Siapa sih lo? Mau lo apa?”
“Cukup. Ini cuma sedikit masalah antara kita. Jangan bawa Fachri.” hardikku padanya.
“Tapi aku nggak terima, Ra. Dia yang ngerebut kamu.”
“Dia nggak tau apa-apa.”
“Ra, bilang sama aku apa yang harus aku lakuin biar aku bisa kembali sama kamu. Katakan!” dia bicara setengah membentak dan menggenggam tanganku keras.
“Lepasin tangan Zahra.” Bentak Fachri.
 “kamu nggak papa,kan?” tanya Fachri.
“Im okay.”
“Jangan berani main kasar sama cewek dong, man. Masalah lo, apa? Kenapa bawa-bawa gue? Bilang sini, sama gue.”
Mereka saling membulatkan mata. Tuhan, kenapa jadi begini.
“Kalian berdua berhenti. Aku nggak mau ada baku hantam disini. Fachri sebaiknya sekarang kamu pergi. Dan, kamu juga, balik sana ke Surabaya.”
“Tapi, Ra...” jawab mereka berdua serentak.
“Kenapa? Nggak mau pergi? Aku yang pergi.”
Aku meninggalkan mereka.
***
“Benar dugaanku, kamu disini. Merlion Park.”
Aku mengalihkan perhatian dari layar ipadku ke sumber suara.
“Fachri? Kenapa nyariin aku?”
“Aku mau minta maaf soal tempo hari. Sebenarnya aku sudah lama ingin ngubungin kamu. Tapi aku pikir, kamu pasti butuh waktu untuk menjernihkan pikiran.”
“Kamu nggak salah kok. Aku yang minta maaf. Karena aku, kamu jadi ikut dalam masalahku.”
Dia tersenyum. Manis sekali. “Keberatan untuk berbagi?”
Aku menceritakan semuanya pada Fachri. Melegakan. Aku seperti baru aja membuang beban besar yang selama ini ku simpan sendirian.
“Bener kamu nggak mau balikan sama dia? Nggak nyesel?”
“Dia hanya masa lalu. Seseorang yang aku panggil hadir hanya karena aku tak ingin punya musuh lagi. Selesai.”
“Hmm, Zahra. Do you want to be my girl? Accompany me till the end of time and  be mother of my children?”
“Are you serious?”
“Wallahi.”
Aku bahagia. Aku masih tak percaya. Mungkinkah mimpi itu jadi asa pasti? “Jika benar tak ada dusta atas apa yang kamu katakan, pergilah ke Surabaya, mintalah izin mereka atas diriku.”
“Akan ku lakukan.”
Getaran handphone menyontakku seakan membuat aku sadar aku tidak sedang terlelap dan bermimpi.
Sebuah sms...
‘Aku mmang egois. Aku cm mikirn rasaku. Mgkin sdh trlalu sering kata maaf terucap dr mulutku. Tp, mmang itu sj yg bisa aku ucapkan. slmanya aku akan tetap dan selalu cnta km. Km benar, jln kita skrg sdh berbeda. Ak akn bljr mncintai Abel. Mgkn dialh bagian tulang rusukku yg hilang. Smga km bahagia sm dia. Tp inget klo dia nyaktin km, crta sm ak. Aku akn jd org pertama yg mengrm dia ke neraka. ’
Byan!
Cowok badung itu memang gila. Selamanya, dia akan tetap badung. Aku tertawa.
“Zahra?” Fachri memetik jari didepan mataku, “why?”
“Byan!”
“Byan? Cowok badung mantan kamu itu? Kenapa? Dia nggak lagi goda kamu kan? kamu nggak bakal balik sama dia kan?”
“Kalau iya gimana?”
“Aku akan tetap temuin mami papi kamu. Atau kalau perlu aku telepon sekarang.”